Translate

Jumat, 25 April 2014

Aroma Italia Di Laga Empat Besar Liga Champions 2013/2014

Tak sengaja (bukan lagu) ketika saya membaca artikel atau postingan di goal.com ketemu sama artikel yang mantap ini. mungkin gak apa apa kali ya copas artikelnya berhubung memang bagus sekaligus saya memang pencinta sepakbola italia (inter milan khususnya) jadi ini wajib di baca.
Tapi teman-teman juga wajib baca lewat blog goal.com ya.

ok langsung saja, check it out!

Italia jadi salah satu kiblat sepakbola dunia, aroma itu kental terasa di babak semi-final Liga Champions 2013/14 kendati Serie A tak menyumbangkan satu pun wakilnya.

Pagelaran Liga Champions musim 2013/14 makin memasuki fase yang krusial. Spanyol yang diwakilkan duo tim ibu kota, yakni Real Madrid dan Atletico Madrid, beradu kuat dengan sang juara bertahan asal Jerman, Bayern Munich, serta Chelsea sebagai representasi Inggris. Keempatnya akan berperang hebat demi satu tiket menuju partai puncak di Estádio da Luz, Lisbon, Portugal.

Empat tim di atas sekaligus menggambarkan peta terkini sepakbola Eropa. Liga BBVA Spanyol, Liga Primer Inggris, dan Bundesliga Jerman saat ini memang jadi pemuncak tertinggi klasemen koefisien liga-liga di Eropa. Namun bukan berarti kita hanya akan disajikan keindahan tiki-taka ala Spanyol, kick 'n' rush milik Inggris, atau staying power khas Jerman. Aroma lain dihadirkan dari negara yang masih jadi salah satu kiblat sepakbola dunia, yakni Italia.

Dalam tiga musim terakhir Liga Italia Serie A selalu saja gagal menampakkan tajinya di pentas LC. Setelah FC Internazionale juara di musim 2009/10, tak pernah ada satupun klub dari Italia yang sanggup mengulanginya bahkan hanya untuk lolos ke babak semi-final. Ironis memang, jika kita memiliki Serie A sebagai liga penghasil torfi LC terbanyak kedua di bawah Spanyol. Atau jika kita melempar waktu ke belakang hingga satu atau dua dekade lalu untuk melihat kiprah brilian tim-tim Negeri Pizza di Eropa.

Tapi jika kita korek lebih dalam, pengaruh Calcio tidak sama sekali hilang di fase semi-final ini. Ya, keempat pelatih klub yang terlibat di babak empat besar ternyata memiliki hubungan kuat dengan akar sepakbola Italia. Carlo Ancelotti (Madrid), Jose Mourinho (Chlesea), Diego Simeone (Atletico Madrid), serta Josep "Pep" Guardiola (Bayern Munich), kesemuanya pernah menuntut ilmu di kasta tertinggi sepakbola Italia, baik sebagai pelatih maupun pemain.

Dalam sepakbola, Italia memang dikenal sangat taktikal sehingga disebut sebagai surganya para pelatih. Berbagai macam ramuan ajaib yang kadang di luar nalar diciptakan untuk membawa sebuah tim meraih kemenangan di setiap pertandingan. Catenaccio jadi skema paling terkenal di sana, sepakbola bertahan dengan permainan pragmatis yang dibumbui intrik di dalamnya. Tak percaya? Tengok saja hasil di leg pertama semi-final LC, yang baru selesai Kamis (24/4) dini hari tadi. Benar, hanya satu gol yang tercipta dari dua pertandingan yang digelar!

Duel Atletico Madrid melawan Chelsea di Vicente Calderon mengingatkan kita pada partai monoton Juventus kontra AC Milan pada final LC 2002/03, yang berakhir imbang tanpa gol. Sementara Real Madrid menampilkan karakter sejati khas catenaccio untuk menang tipis 1-0 dari dominasi Bayern Munich. Melihat hasil tersebut, keempat pelatih benar-benar mengadaptasi ilmu yang mereka dapat selama berkiprah di Italia.

Oleh karenanya, kali ini Goal Indonesia bakal mengulik habis kiprah keempat nakhoda tim kala menimba ilmu di liga yang sangat taktikal, keras, dan penuh intrik, Liga Italia Serie A!


                       CARLO ANCELOTTI


Carlo Ancelotti jadi satu-satunya partisipan Italiano di babak semi-final Liga Champions 2013/14. Sebagai pria asli Italia, pengalamannya di ranah Calcio jelas lebih tinggi dibanding pelatih tim-tim semi-finalis lainnya. Fakta itu sekaligus menjadikannya nakhoda paling fasih dalam meramu taktik menggunakan bumbu khas Negeri Pizza.

Sukses berkarier sebagai salah satu pesepakbola top Eropa, Don Carlo mengawali karier kepelatihannya di Reggiana pada musim 1995/96. Satu musim saja berada di sana, ia berhasil membawa klub kecil itu promosi ke Serie A. Namanya mulai mencuat setelah sukses bersama Parma. Il Gialloblu dibentuknya menjadi tim papan atas Italia kala itu.

Sempat tenggelam saat dipercaya melatih tim terbaik Italia, Juventus, Ancelotti membuktikan dirinya sebagai salah satu pelatih besar Eropa ketika menangani AC Milan sejak musim 2001/02. Ia membawa I Rossonerri meraih seluruh gelar di level klub selama delapan musim masa kepemimpinannya. Masing-masing satu untuk Piala Italia, Piala Super Italia, scudetto, dan Piala Dunia Antarklub, serta dua untuk gelar Piala Super Eropa dan Liga Champions.

Tak heran jika ketika itu Ancelotti dijuluki sebagai guru taktik baru sepakbola Italia. Salah satu kelebihannya dibanding arsitek asal Italia lainnya adalah transformasi taktik. Ya, pria yang kini berusia 54 tahun itu tak pernah memiliki pakem satu formasi saja. Komposisi dan kualitas pemain yang berkorelasi pada kebutuhan tim selalu jadi patokannya.

Satu hal yang terus diperlihatkan Ancelotti kala memimpin Chelsea, Paris Saint-Germain, hingga kini Real Madrid. Namun aroma catenaccio tetap terasa karena pria yang memiliki hobi makan ini tak pernah berani mengubah skema empat bek sejajar, di sepanjang karier kepelatihannya.




                        JOSE MOURINHO


Menyebut nama Jose Mourinho kita hanya akan teringat dua hal: penuh prestasi namun kontroversial. Ya, The Only One adalah sosok pelatih paling ikonik di dunia sepakbola modern ini. Tak hanya soal tingkah laku, gaya permainan pragmatisnya pun jadi anomali perdebatan menyoal permainan menghibur.

Muncul ke permukaan bersama FC Porto dan semakin melambung ketika di Chelsea, adalah satu kejutan besar kala dirinya memutuskan untuk melatih salah satu raksasa Italia, FC Internazionale, pada musim 2008/09. Maklum saat itu sepakbola Italia masih belum bisa bangkit pasca keterpurukan akibat kasus calciopoli. Namanya pun makin tenggelam di musim perdana karena Inter gagal menembus babak delapan besar LC, kendati kembali meraih scudetto.

Meski begitu pelajaran berharga didapat Mou di masa-masa sulit tersebut. Pria asal Portugal ini kemudian mulai memahami esensi sejati permainan taktik dalam sepakbola yang membawanya menemukan identitas. Ya, permainan pragmatis buah adaptasi dari catenaccio Italia.

Hasilnya terbukti, La Beneamata meledak pada musim kedua masa kepemimpinannya. Secara sensasional gelar treble winner Mou persembahkan lewat skema pragmatisnya. Sorotan terletak saat Inter meraih Liga Champions dengan mengalahkan Barcelona di babak semi-final melalui skema tersebut. Benar, Barcelona, klub yang kala itu disebut sebagai tim terbaik yang pernah ada dengan permainan indah yang tak tersaingi.

Pindah ke Real Madrid dengan membawa segudang bumbu taktik berharga. Mou kembali sukses mematahkan dominasi Blaugrana yang sebelumnya menjuarai Liga BBVA Spanyol tiga musim beruntun. Kembali ke Chelsea musim ini, filosofi "asal menang" masih jadi andalannya. Namun kini kesulitan besar hadir di semi-final LC, tatkala Atletico Madrid coba menghadang melalui racikan taktik "follower-nya" Diego Simeone.




                       DIEGO SIMEONE


Sepakbola Italia dikenal sangat taktikal, amat keras, dan penuh kontroversi sehingga banyak opini yang menyebut jika Calcio kurang sedap dipandang. Ketiga hal tersebut sepertinya jadi representasi terbaik untuk menggambarkan seorang Diego Simeone.

Malang-melintang di Spanyol bersama Sevilla dan klub yang diasuhnya saat ini, Atletico Madrid, sebagai pesepakbola puncak karier Simeone malah terjadi di Italia tatkala dirinya membela FC Internazionale dan Lazio. Karakternya sebagai salah satu gelandang terbaik sepakbola Eropa terbentuk. Cerdas dalam memahami taktik, begitu lugas nan keras di lapangan, serta kontroversial -- kita tentu ingat aktingnya untuk mengeluarkan David Beckham di Piala Dunia 1998 -- ia mendapat segudang ilmu tersebut dari Negeri Pizza. Hal itu tergambar jelas dari torehan 45 kartu kuning serta dua kartu merah yang diterimanya selama lima musim di Calcio.

Pensiun dan akhirnya menjadi pelatih, tiga kunci itu terus ia pegang teguh. Hasilnya brilian, raksasa yang lama tertidur, Estudiantes dan River Plate dibawanya jadi raja di Argentina. Performa yang tak mengecewakan pun ia tunjukkan kala melatih Racing Club dan San Lorenzo.

Bak De Javu, karier kepelatihannya di Eropa dimulai di Serie A Italia pada musim dingin 2010/11. Catania yang kala itu sedang terpuruk dan sulit keluar dari zona degradasi memanggilnya. Impresif, Gli Elephanti sukses dibawanya meraih salvezza dengan rekor tujuh kemenangan, tiga hasil seri, dan delapan kekalahan, sepanjang setengah musim masa kepemimpinannya.

El Cholo lantas meledak kala dipercaya jadi arsitek tim di Vicente Calderon. Satu gelar domestik dan sepasang trofi Eropa jadi persembahan sepanjang dua setengah musim keberadannya hingga kini. Bermodalkan ilmu yang ia dapat di Serie A, kini Los Rojiblancos ia tempatkan di ambang kejayaan terbesar sepanjang sejarah klub.




                        JOSEP GUARDIOLA


Josep "Pep" Guardiola, kini dikenal sebagai pelatih tersukses di Eropa. Dia juga jadi calon pelatih legendaris dalam sepakbola menilik torehan yang pernah ia catatkan. Ya, bersama Barcelona ia meraih segalanya dalam kurun waktu 2008 hingga 2012. Satu hal yang rasa-rasanya akan ia ulangi pada masa kepemimpinannya di Bayern Munich kini.

Semasa menjadi pemain, Pep yang berposisi sebagai gelandang tengah memang dikenal sebagai otak permainan yang cerdas dalam mengimplementasikan maksud pelatih. Tak hanya di Spanyol, pelajaran berharga soal materi taktikal dalam melatih, agaknya juga ia dapatkan kala lepas dari Barca dan melanjutkan kerier di Serie A Italia.

Membela dua tim di Italia, Brescia dan AS Roma, permainannya memang tak lagi impresif karena sudah di ujung karier. Tapi di sisi lain ia datang di saat yang tepat. Ya, saat masih di Brescia Pep dilatih oleh sosok pelatih legendaris Italia, Carlo Mazzone. Sementara di Roma ia mendapatkan pelajaran berharga dari Il Maestro Fabio Capello. Belum lagi filosofi permainan yang ia sarikan dari sosok kharismatik, Roberto Baggio, rekan setimnya di Biancoazzurri.

Kombinasi ketiga sosok tersebut tersinergi jelas dari strategi tiki-taka yang sungguh mendunia itu. Permainanan bola-bola pendek menyusur tanah yang kontradiktif dengan pakem tenar saat itu, didapatkannya dari Mazzone. Skema ofensif dengan mengandalakan lini sayap sebagai kunci serangan jelas diperoleh dari kebiasaan Capello. Sementara filosofi sepakbola indah yang terkadang tak berkorelasi dengan hasil, amat sesuai dengan gaya permainan Baggio.

Keberadaannya dalam sepakbola Italia yang hanya dua musim, memang bagai angin lalu. Namun manfaat yang bersinergi dengan kecerdasannya sukses menorehkan tinta emas sepakbola, yang tak akan lekang oleh waktu.














 Sumber : goal.com



NOTE : Boleh copy paste tapi harus pasang LINK yang terhubung ke blog ini, THANK'S ! Share

amazon.com